novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Saudariku sayang, saya tidak mengenalmu. Tetapi semoga Allah memberi kemudahan dan kekuatan, untuk tidak pernah menuruti kehendak lelaki yang telah kehilangan mata hati.

ArgoAnggrek, 15 Maret 2007
–o0o–

Cinta Tak Sempurna


“Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya menceraikannya begitu saja.”

Saya tidak tahu, apa kekurangan perempuan yang berdiri di hadapan saya. Wajah dan senyumnya manis.

Tutur katanya lembut dan santun, khas perempuan Jawa.Tubuhnya? Jangan tanya. Untuk perempuan yang telah melahirkan enam orang anak, sosoknya lebih dari sempurna.

Dan saya sama sekali tidak berlebihan dalam menilai.

Sebab perempuan berwajah ayu itu jauh lebih ramping dan bagus tubuhnya, bahkan bila dibandingkan rata-rata gadis SMA sekarang.

Lantas apa yang salah?
Mengenalnya selama lebih dari lima tahun ternyata tidak juga memberikan jawaban bagi saya, atas sebuah pertanyaan kenapa?

Lima tahun tanpa saya mampu menemukan deretan kekurangannya. Padahal hubungan kami ter bilang dekat.

Usianya masih muda ketika menikah dengan seorang penceramah kondang. Lelaki yang diharapkan perempuan ini, bisa menuntunnya ke surga.

Kehidupan pernikahan bisa dibilang berjalan baik. Satu dua pertengkaran atau ketidakcocokan rasanya biasa dalam romantika pernikahan. Perempuan ini melahirkan lima orang anak, yang dididiknya dengan baik. Kelima anaknya semua penurut, prihatin, dan tidak banyak menyusahkan.

Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suaminya menjatuhkan talak. Cerai. Begitu saja. Tidak ada pertengkaran hebat, tidak ada perempuan lain, setidaknya dalam pengetahuan teman saya ini. Lalu di mana yang salah?

“Saya tidak tahu,” bisiknya lirih, “sebagai istri rasanya saya tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan itu. Sejak dulu orang tua selalu mengajarkan saya untuk nrimo.Bersyukur dengan pemberian suami.”

Bukan karena pertemanan saya menerima bu lat-bulat penjelasannya. Melainkan, memang begitu juga teman-teman lain mengenalnya. Perempuan yang lembut, apa adanya yang pandai menata rumah.

Meskipun mungil,tempat tinggalnya selalu terlihat asri dan fungsional.

Tidak banyak pajangan antik atau mahal yang terpampang di ruang tamu. Hanya perabot biasa yang memang diperlukan.

“Saya bukan tidak pernah bertanya kepada diri saya sendiri, Asma. Saya pikir, apa karena saya terlalu menadahkan tangan pada suami?”

Istri menadahkan tangan pada suami sendiri rasanya wajar saja.Selama tidak meminta yang aneh-aneh. Tapi dia yang saya kenal, tidak begitu.

“Bukannya mbak dari dulu sudah mengajar?”

Dia mengangguk, “Sejak tahun ketiga pernikahan.”

Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya menceraikannya begitu saja. Kadang saya gemas dengan kepasrahannya menghadapi semua.

“Biarlah Asma. Selama Allah ridha kepada saya.”

Omongan tetangga kiri kanan sungguh tidak mengenakan. Apalagi sang suami penceramah kondang yang dianggap berilmu dan jam terbangnya sudah tinggi.

Otomatis kesalahan dibebankan pada sang istri.

“Wah, kalau didengarkan omongan orang, tidak ada habisnya. Panas kuping. Tapi mau apa?”

Membela diri, protes, meluruskan, tegakkan keadilan!

Setidaknya itulah yang akan saya lakukan, jika hal serupa terjadi pada saya. Tapi perempuan ini menggelengkan kepala.

“Saya terima saja. Mungkin ini takdir saya.”

Kepasrahan,keikhlasannya menggetarkan saya.

Juga ketika kemudian sahabat saya ini menikah lagi.

Membawanya ke masalah lain, kemarahan banyak pihak.

“Saya tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah memberitahu saya.”

Protes, berontak, batalkan pernikahan!

Lagi-lagi pikiran kritis meledak di kepala saya. Sahabat saya yang ayu, sahabat saya yang memiliki tubuh bagus Kenapa harus tersangkut menjadi istri kedua? Bukankah dia bisa memilih?

Tapi itulah hidup. Lelaki yang dipilihnya ternyata milik perempuan lain. Setelah pernikahan belasan tahun dia dan istrinya belum juga memiliki seorang anak. Tanpa sepengetahuan istrinya, lelaki itu melamar dan menikahi sahabat saya.

Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika beberapa lama kemudian sahabat saya mengabarkan via SMS bahwa dia sedang hamil. Berita yang sekaligus menjadi puncak kegembiraannya.

Sebab sejak itu sang suami tak pernah lagi muncul. Istri pertamanya semakin cemburu mengetahui kehamilan madunya. Begitulah, hingga jabang bayi itu kemudian lahir, dan beranjak dua tahun, baru sekali sosok ayah mampir di matanya. Tak ada nafkah.

Tak ada kasih sayang. Tak ada pemenuhan kewajiban apapun. Dan seolah sudah demikian seharusnya, sahabat saya hanya diam. Tidak protes, tidak menuntut ini itu yang menjadi haknya. Hanya diam.

Hanya kalimat itu yang bermain di matanya, saat menatap keenam buah hatinya yang semakin besar, dan dewasa dalam kasih tanpa ayah. Ketegaran yang tidak pernah menguap oleh waktu.

“Biarlah, Asma. Selama Allah ridha kepada saya…”

Catatan 12
Hari Pertama Memandangmu


“Ketika membuka mata saya melihat suster berlalu lalang dalam pakaian hijau dan masker. Tidak berapa lama terdengar suara kelegaan.”

17 Juli 1996

Setahun setelah pernikahan, hingga hari ini, saya merasa momen di mana saya dipertemukan dengan lelaki yang sekarang menjadi suami, adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada saya.

24 jam kemudian saya tahu saya salah.

RS. Haji 18 Juli 1996

Berjam-jam di rumah sakit. Konstraksi terus menerus.

Diinduksi sudah, dimasukkan sejenis obat untuk merangsang pembukaan juga sudah. Tapi situasi tidak berubah. Pembukaan satu dan tidak maju-maju.

Tubuh saya lelah, keringat saya mengucur. Posisi tubuh jadi serba salah. Duduk sakit.Berbaring ke kanan atau ke kiri terasa sakit. Setelah 24 jam saya tidak sanggup makan apa-apa lagi.

Padahal saya masuk ke rumah sakit dalam keadaan bugar dan bisa berjalan gagah. Tidak ada mu las-mulas karena konstraksi sebelum dipancing obat. Dokter mengatakan rahim saya sudah tua dan karenanya harus segera dirawat dan diinduksi.

Pukul 14.00 siang.

Bercak-bercak darah, lebih banyak dari biasa.

Pukul 14.15 siang
Ketuban pecah.

Suster berlari memanggil dokter, yang ternyata sedang dalam perjalanan kembali ke rumahnya. Kami menunggu cemas.

Ketika dokter datang, ruang operasi segera disiapkan.

Saya nyaris tak bisa bersuara. Hanya mengangguk. Apa saja, pikir saya… setelah keletihan 30 jam ini, rasanya saya siap menghadapi tindakan apa pun.

Tepat pukul 15.00

Seperti berada dalam perahu yang terayun-ay un dengan pelan. Saya dengan dokter berbicara. Ketika membuka mata saya melihat suster berlalu la lang dalam pakaian hijau dan masker. Tidak berapa lama terdengar suara kelegaan.

“Bayinya sudah keluar… kasih lihat ibunya.”

Saya seperti diloncatkan dari kesadaran yang minim.

Bayi… bayi saya?

“Apa semuanya lengkap, Dok? Jari-jarinya? Tubuhnya?”

Saya tahu setiap anak adalah anugerah luar biasa dari Yang Maha.

Saya tahu seorang ibu harus menerima apapun kondisi bayinya, dan tetap bersyukur terhadap anu-grah yang diberikan.

Dan dengan sepenuh hati saya mengagumi potret para ibu yang dikaruniai anak-anak ‘istimewa’ namun sanggup menerimanya dengan keikhlasan, ya ng dibuktikan dengan kegigihan membesarkan anak mereka.

Sekalipun menderita hdyrocephallus.

Sekalipun memiliki cacat fisik.
Sekalipun mengalami down syndrorne.